(Fidelis Diponegoro, Dedi Rosadi & Joko Kristadi)
Sekarang hampir semua pikiran manusia tertuju pada Corona. Virus ini sungguh menebar kekhawatiran di seluruh pelosok bumi. Sudah jutaan orang terinfeksi dan puluhan ribu di antaranya menjadi korban keganasannya. Di semua media hampir setiap hari dihujani berita terkait Covid-19 dan bagaimana cara memproteksi diri. Petugas dan relawan berjibaku di garda depan berjuang menyembuhkan dan mencegah meluasnya wabah. Kota mendadak sepi karena aktivitas masyarakat terpaksa menyesuaikan dengan maunya si virus. Sementara itu stabilitas pasar modal terganggu. Kurs dolar rupiah melonjak tinggi. Ekonomi terancam menjadi resesi. Orang harus kreatif memutar otak untuk tetap bertahan dimasa sulit ini. Orang-orang sibuk jual beli masker, hand sanityzer, desinfektan, sarung tangan, empon-empon dan sejenisnya. Dimasa ini, hampir semua teori marketing dijungkirbalikkan. Mungkin hanya teori seperti “Worry Marketing” yang mampu menjelaskan fenomena ini. Sebab, semua yang sedang terjadi terkait erat dengan kekhawatiran, tentang worry. Kekhawatiran memang dapat menjadi mediating variable yang mempengaruhi informasi yang diterima orang sehingga menjadi niat beli.
Orang bijak dan beriman selalu mengajarkan bahwa khawatir itu tidak berguna. Kekhawatiran dianggap sebagai indikator lemahnya iman umat beragama. Orang khawatir seolah tidak percaya kepada Tuhan yang berkuasa sepenuhnya atas hidup manusia. Tanpa bermaksud menegasikan kepercayaan itu, Borkovec (2002) dan Fidelis (2006, dalam Worry Marketing) berpendapat bahwa kekhawatiran sesungguhnya bermanfaat. Manfaat kekhawatiran akan terlihat jika memenuhi dua syarat. Syarat yang dimaksud adalah : (1) tertuju pada bahaya tertentu dan (2) tidak berlangsung lama dan menguasai pikiran sehingga berubah menjadi kecemasan. Orang cemas cenderung bisa berbuat ngawur dan perilakunya tidak terukur. Namun jika kekhawatiran yang tertuju pada bahaya tertentu dikelola dengan baik maka akan menghasilkan resolusi tindakan mencari informasi bagaimana mengantisipasinya dan kemudian sungguh beraksi meniadakan kekhawatiran.
Homeostatis Manusia Terganggu
Setiap makhluk hidup punya kecenderungan untuk menemukan kondisi keseimbangan dalam dirinya. Hal itu dinyatakan dalam teori Homeostatis. Jika kita lapar atau haus, kondisi yang bisa dikatakan tidak seimbang maka kita makan atau minum. Demikian juga jika khawatir, maka usaha-usaha untuk meniadakan kekhawatiran pun dilakukan. Kita boleh percaya bahwa setiap peristiwa memiliki awal dan akhir. Akhir dari suatu peristiwa dapat berupa keseimbangan baru atau kembali seperti kondisi sebelum peristiwa terjadi. Begitu pula dengan wabah Covid-19, cepat atau lambat dapat dipastikan akan berakhir. Akhir dari wabah Covid-19 dapat berupa lenyapnya virus Corona maupun terjadinya keseimbangan baru dimana virus corona tidak lagi menjadi ancaman bagi manusia seperti contoh virus flu biasa.
Sengeri apakah wabah itu? Sebagai ilustrasi, seandainya kita tidak melakukan usaha apapun maka akan terjadi seleksi alam hingga tercapai keseimbangan baru (Teori Darwin). Peristiwa tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama dan korban yang sangat banyak. Pada tahun 1918 ada peristiwa wabah Flu Spanyol termasuk di Indonesia yang saat itu disebut sebagai pageblug. Dengan minimnya pengetahuan dan kesadaran kesehatan saat itu di Indonesia saja korban mencapaii 1.5 juta orang meninggal. Bahkan ada yang memperkirakan 4 juta orang. Akhir dari pageblug itu tidak diketahui dengan jelas tetapi diperkirakan 2 tahun kemudian orang Indonesia sudah memiliki herd immunity, kekebalan alami yang muncul sebagai akibat proses adaptasi alam. Tentunya kita berharap agar peristiwa wabah Covid-19 di Indonesia tidak berdampak seperti itu. Berbagai upaya dilakukan untuk melawan wabah Covid-19 dengan cara memutus rantai penularan virus Corona dan menyembuhkan yang sudah terinfeksi. Dengan cara demikian wabah Covid-19 dapat segera berakhir seperti mungkin di tempat awal penyebarannya.
Untuk menggambarkan munculnya kesetimbangan baru pada penyebaran virus Covid-19, dapat digunakan ilustrasi pergerakan jumlah akumulatif kasus positif Covid-19 yang dibangun oleh dari kurva penambahan kasus positif atau lazimnya disebut kurva epidemiologi. Secara garis besarnya, jumlah akumulatif kasus positif Covid-19 dapat digambarkan sebagai S-curve yang memiliki awal dan akhir. Pada awalnya, jumlahnya akan bertambah secara perlahan, kemudian meningkat secara eksponensial hingga mencapai titik klimaks. Dan kemudian setelah melewati titik klimak, penambahan jumlah kasus positif Covid-19 akan melandai hingga mencapai angka maksimum atau tidak bertambah lagi. Apabila hal tersebut disertai dengan proses penyembuhan semua yang telah terinfeksi, maka wabah Covid-19 dapat dikatakan sudah berakhir. Tahap inilah yang dapat kita katakan sebagai keseimbangan baru, pikiran tidak khawatir dan virus “tidak mengganggu” lagi.
Estimasi model matematis
Berbagai metode dikembangkan dan telah dipublikasikan untuk menganalisis data pasien penderita Covid-19. Sebagian besar memprediksikan Mei sampai Juli adalah akhir dari pandemi ini, dengan jumlah pasien beragam dari ribuan sampai dengan jutaan korban terinfeksi. Pemerintah dan BNPB dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR pada Kamis (2/4/2020) menyatakan bahwa Covid-19 berpotensi menginfeksi melebihi angka 105 ribu penduduk di akhir Juni 2020. Atas dasar ini, maka kemudian Pemerintah menyusun berbagai program dalam rangka menanggulangi wabah dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), juga pengelolaan mudik antara lain dengan pemindahan cuti bersama, pengaturan mudik Aparat Sipil Negara, dan berbagai upaya lain.
Lantas bisakah kita berharap bahwa kebijakan-kebijakan itu akan berhasil? Berdasarkan salah satu model matematis yang dikembangkan oleh gabungan pakar Statistika dan alumni UGM dapat diperoleh gambaran trend perkembangan data menggunakan model Probablistic Data-Driven Model (PDDM). Model ini bersifat data-driven dan dikonstruksikan berdasarkan data riil kasus positif Covid-19 yang diumumkan pemerintah Indonesia. Landasan berfikir pemodelan menggunakan model teori antrian dengan mengasumsikan proses pasien datang ke rumah sakit sebagai penderita Covid-19 positif mengikuti proses antrian Markovian sehingga banyaknya pasien yang datang merupakan proses penghitungan (counting process). Model versi awal baru memotret Indonesia sebagai satu entitas dan melakukan sejumlah simplifikasi seperti belum menggambarkan potensi penyebaran virus karena faktor kondisi geografis Indonesia berupa negara kepulauan, maupun potensi penyebaran virus karena adanya migrasi penduduk. Pada model diasumsikan hanya terdapat satu masa puncak penambahan jumlah pasien baru. Dari pemodelan dengan data sampai 15 April 2020, untuk sementara diperoleh perkiraan waktu bahwa puncak tersebut terjadi pada akhir April 2020 dan diperkirakan pandemi akan berakhir akhir Juli 2020 dengan perkiraan proyeksi total penderita Covid-19 positif dengan estimasi moderatnya jumlah kasus disekitar 18 ribuan.
Jumlah kasus masih mungkin diminimalisir apabila PSBB berjalan efektif di DKI Jakarta. Data menunjukkan bahwa sampai dengan minggu pertama April jumlah kasus positif lebih dari separuhnya terjadi di DKI Jakarta dan penambahannya bersifat eksponensial. Apabila penambahan eksponensial di DKI Jakarta ini menemukan solusi yang tepat maka upaya Pemerintah ini akan mencapai keberhasilan awal. Kenapa baru menunjukkan keberhasilan awal? Perlu diingat bahwa apabila tren eksponensial kasus di DKI Jakarta bisa dikendalikan, masih ada provinsi-provinsi lain yang berpotensi menjadi epicenter-epicenter baru. Maka akhir wabah bisa mundur sampai setelah Juli dan jumlah melebihi 100 ribu seperti prediksi pemerintah masih mungkin terjadi.
Disisi lain, kita mesti sungguh waspada dalam mengantisipasi pengendalian penyebaran virus ini. Kesesuaian realitas pengendalian wabah dengan estimasi model matematis (khususnya model PDDM) sangat bergantung bagaimana konsistensi intervensi dan bagaimana masyarakat peduli terhadap masalah bersama ini. Social dan physical distancing, penggunaan masker, cuci tangan, working dan studying from home dan upaya lain perlu terus dilakukan sampai pandemi benar-benar berakhir. Ritual mudik lebaran sungguh perlu dikelola sebaik mungkin agar tidak ditumpangi virus. Selain mobilitas virus yang menunggangi para pembawanya, bentuk negara kepulauan juga merupakan tantangan tersendiri. Jika muncul epicenter-epicenter baru di provinsi-provinsi lainnya tentu memiliki tantangan dan kendala pengendalian beragam. Bila itu tidak dikendalikan dengan baik, bukan tidak mungkin puncak wabah yang awalnya sudah melandaipun kemudian akan berkembang pesat menemukan puncak-puncaknya kembali.
Semoga proses “seleksi alam” ini segera menemukan keseimbangan baru dan badai Covid-19 segera berlalu.
Penulis dan Pembuat Model PDDM:
- Dr. Fidelis I. Diponegoro, S.Si., M.M. email: fidelanand@yahoo.co.id
- Prof. Dr.rer.nat. Dedi Rosadi, S.Si., M.Sc. email: dedirosadi@gadjahmada.edu
- Drs. Heribertus Joko Kristadi, M.Si. email: jkristadi@yahoo.com